Kisah Misteri Dibalik Meninggalnya Tiga Presiden Indonesia
Mediametafisika - Indonesia telah kehilangan tiga putra terbaiknya yang sebelumnya menjabat sebagai presiden Indonesia. Berbagai cerita menarik, unik dan menyedihkan mengiringi kepergian putra terbaik bangsa itu. Bangsa ini akan terus mengenang hal positif dan terus melanjutkan langkah besar para pemimpin negeri itu.Inilah Kisah Dibalik Meninggalnya Tiga Presiden Indonesia
Kisah Misteri Dibalik Meninggalnya Tiga Presiden Indonesia :
Ir.Soekarno
Soekarno adalah Presiden Indonesia pertama yang menjabat pada periode 1945â??1966.Ia memainkan peranan penting untuk memerdekakan bangsa Indonesia dari penjajahan Belanda.Soekarno adalah penggali Pancasila karena ia yang pertama kali mencetuskan konsep mengenai dasar negara Indonesia itu dan ia sendiri yang menamainya Pancasila. Soekarno lahir di Surabaya Jawa Timur, 6 Juni 1901 â?? meninggal di Jakarta, 21 Juni 1970 pada umur 69 tahun
Kesehatan Soekarno sudah mulai menurun sejak bulan Agustus 1965.Sebelumnya, ia telah dinyatakan mengidap gangguan ginjal dan pernah menjalani perawatan di Wina, Austria tahun 1961 dan 1964.Prof. Dr. K. Fellinger dari Fakultas Kedokteran Universitas Wina menyarankan agar ginjal kiri Soekarno diangkat tetapi ia menolaknya dan lebih memilih pengobatan tradisional.Ia masih bertahan selama 5 tahun sebelum akhirnya meninggal pada hari Minggu, 21 Juni 1970 di RSPAD (Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat) Gatot Subroto, Jakarta dengan status sebagai tahanan politik.
Jenazah Soekarno pun dipindahkan dari RSPAD ke Wisma Yasso yang dimiliki oleh Ratna Sari Dewi.Sebelum dinyatakan wafat, pemeriksaan rutin terhadap Soekarno sempat dilakukan oleh Dokter Mahar Mardjono yang merupakan anggota tim dokter kepresidenan.Tidak lama kemudian dikeluarkanlah komunike medis yang ditandatangani oleh Ketua Prof. Dr. Mahar Mardjono beserta Wakil Ketua Mayor Jenderal Dr. (TNI AD) Rubiono Kertopati.
Baca selengkapnya >>>
Soekarno Ir.
Soekarno adalah Presiden Indonesia pertama yang menjabat pada periode
1945–1966.Ia memainkan peranan penting untuk memerdekakan bangsa
Indonesia dari penjajahan Belanda.Soekarno adalah penggali Pancasila
karena ia yang pertama kali mencetuskan konsep mengenai dasar negara
Indonesia itu dan ia sendiri yang menamainya Pancasila. Soekarno lahir
di Surabaya Jawa Timur, 6 Juni 1901 – meninggal di Jakarta, 21 Juni 1970
pada umur 69 tahun
Kesehatan Soekarno sudah mulai menurun sejak bulan Agustus
1965.Sebelumnya, ia telah dinyatakan mengidap gangguan ginjal dan pernah
menjalani perawatan di Wina, Austria tahun 1961 dan 1964.Prof. Dr. K.
Fellinger dari Fakultas Kedokteran Universitas Wina menyarankan agar
ginjal kiri Soekarno diangkat tetapi ia menolaknya dan lebih memilih
pengobatan tradisional.Ia masih bertahan selama 5 tahun sebelum akhirnya
meninggal pada hari Minggu, 21 Juni 1970 di RSPAD (Rumah Sakit Pusat
Angkatan Darat) Gatot Subroto, Jakarta dengan status sebagai tahanan
politik.
Jenazah Soekarno pun dipindahkan dari RSPAD ke Wisma Yasso yang dimiliki
oleh Ratna Sari Dewi.Sebelum dinyatakan wafat, pemeriksaan rutin
terhadap Soekarno sempat dilakukan oleh Dokter Mahar Mardjono yang
merupakan anggota tim dokter kepresidenan.Tidak lama kemudian
dikeluarkanlah komunike medis yang ditandatangani oleh Ketua Prof. Dr.
Mahar Mardjono beserta Wakil Ketua Mayor Jenderal Dr. (TNI AD) Rubiono
Kertopati.
Komunike medis tersebut menyatakan hal sebagai berikut:
Pada hari Sabtu tanggal 20 Juni 1970 jam 20.30 keadaan kesehatan Ir.
Soekarno semakin memburuk dan kesadaran berangsur-angsur menurun.
Tanggal 21 Juni 1970 jam 03.50 pagi, Ir. Soekarno dalam keadaan
tidak sadar dan kemudian pada jam 07.00 Ir. Soekarno meninggal dunia.
Tim dokter secara terus-menerus berusaha mengatasi keadaan kritis
Ir. Soekarno hingga saat meninggalnya.
Walaupun Soekarno pernah meminta agar dirinya dimakamkan di Istana Batu
Tulis, Bogor, namun pemerintahan Presiden Soeharto memilih Kota Blitar,
Jawa Timur, sebagai tempat pemakaman Soekarno. Hal tersebut ditetapkan
lewat Keppres RI No. 44 tahun 1970.Jenazah Soekarno dibawa ke Blitar
sehari setelah kematiannya dan dimakamkan keesokan harinya bersebelahan
dengan makam ibunya. Upacara pemakaman Soekarno dipimpin oleh Panglima
ABRI Jenderal M. Panggabean sebagai inspektur upacara.Pemerintah
kemudian menetapkan masa berkabung selama tujuh hari.
Meninggalnya sang proklamator kemerdekaan Indonesia sampai sekarang
menyisakan misteri. Perawatan penyakit, masalah pemakaman dan pembatasan
keluarga Soekarno sampai sekarang menjadi cerita yang tidak pernah
selesai dan menjadi kontroversi dan misteri
Namun jauh sebelum pertemuan itu, Kartono bertemu Wu Jie Ping, dokter
yang pernah merawat Soekarno di Hong Kong. Wu mengungkapkan bahwa
Soekarno hanya mengalami stroke ringan akibat penyempitan sesaat di
pembuluh darah otak saat diberitakan sakit pada awal Agustus 1965, dan
sama sekali tidak mengalami koma seperti isu yang beredar. Ini menepis
spekulasi bahwa Soekarno tidak akan mampu menyampaikan pidato kenegaraan
pada peringatan hari proklamasi 17 Agustus 1965. Dan nyatanya, Soekarno
tetap hadir pada peringatan detik-detik proklamasi 17 Agustus itu di
Istana Merdeka, lengkap dengan tongkat komandonya.
Ruangan intensive care RSPAD Gatot Subroto dipenuhi tentara sejak pagi.
Serdadu berseragam dan bersenjata lengkap bersiaga penuh di beberapa
titik strategis rumah sakit tersebut. Tak kalah banyaknya, petugas
keamanan berpakaian preman juga hilir mudik di koridor rumah sakit
hingga pelataran parkir.
Sedari pagi, suasana mencekam sudah terasa. Kabar yang berhembus
mengatakan, mantan Presiden Soekarno akan dibawa ke rumah sakit ini dari
rumah tahanannya di Wisma Yaso yang hanya berjarak lima kilometer.
Derik-detik menjelang kematian Soekarno dimula ketika di dalam ruang
perawatan yang sangat sederhana untuk ukuran seorang mantan presiden,
Soekarno tergolek lemah di pembaringan. Sudah beberapa hari ini
kesehatannya sangat mundur. Sepanjang hari, orang yang dulu pernah
sangat berkuasa ini terus memejamkan mata. Suhu tubuhnya sangat tinggi.
Penyakit ginjal yang tidak dirawat secara semestinya kian menggerogoti
kekuatan tubuhnya. Lelaki yang pernah amat jantan dan berwibawa—dan
sebab itu banyak digila-gilai perempuan seantero jagad, sekarang tak
ubahnya bagai sesosok mayat hidup. Tiada lagi wajah gantengnya. Kini
wajah yang dihiasi gigi gingsulnya telah membengkak, tanda bahwa racun
telah menyebar ke mana-mana. Bukan hanya bengkak, tapi bolong-bolong
bagaikan permukaan bulan. Mulutnya yang dahulu mampu menyihir jutaan
massa dengan pidato-pidatonya yang sangat memukau, kini hanya terkatup
rapat dan kering. Sebentar-sebentar bibirnya gemetar. Menahan sakit.
Kedua tangannya yang dahulu sanggup meninju langit dan mencakar udara,
kini tergolek lemas di sisi tubuhnya yang kian kurus.
Megawati, anak sulungnya dari Fatmawati diizinkan tentara untuk
mengunjungi ayahnya. Menyaksikan ayahnya yang tergolek lemah dan tidak
mampu membuka matanya, kedua mata Mega menitikkan airmata. Bibirnya
secara perlahan didekatkan ke telinga manusia yang paling dicintainya
ini. “Pak, Pak, ini Ega…” Senyap.
Ayahnya tak bergerak. Kedua matanya juga tidak membuka. Namun kedua
bibir Soekarno yang telah pecah-pecah bergerak-gerak kecil, gemetar,
seolah ingin mengatakan sesuatu pada puteri sulungnya itu. Soekarno
tampak mengetahui kehadiran Megawati. Tapi dia tidak mampu membuka
matanya. Tangan kanannya bergetar seolah ingin menuliskan sesuatu untuk
puteri sulungnya, tapi tubuhnya terlampau lemah untuk sekadar menulis.
Tangannya kembali terkulai. Soekarno terdiam lagi.
Melihat kenyataan itu, perasaan Megawati amat terpukul. Air matanya yang
sedari tadi ditahan kini menitik jatuh. Kian deras. Perempuan muda itu
menutupi hidungnya dengan sapu tangan. Tak kuat menerima kenyataan,
Megawati menjauh dan limbung. Mega segera dipapah keluar. Jarum jam
terus bergerak. Di luar kamar, sepasukan tentara terus berjaga.lengkap
dengan senjata. Malam harinya ketahanan tubuh seorang Soekarno ambrol.
Dia coma. Antara hidup dan mati. Tim dokter segera memberikan bantuan
seperlunya.
Keesokan hari, mantan wakil presiden Muhammad Hatta diizinkan
mengunjungi kolega lamanya ini. Hatta yang ditemani sekretarisnya
menghampiri pembaringan Soekarno dengan sangat hati-hati. Dengan segenap
kekuatan yang berhasil dihimpunnya, Soekarno berhasil membuka matanya.
Menahan rasa sakit yang tak. terperi, Soekarno berkata lemah. “Hatta..,
kau di sini..?” Yang disapa tidak bisa menyembunyikan kesedihannya.
Namun Hatta tidak mau kawannya ini mengetahui jika dirinya bersedih.
Dengan sekuat tenaga memendam kepedihan yang mencabik hati, Hatta
berusaha menjawab Soekarno dengan wajar. Sedikit tersenyum menghibur.
“Ya, bagaimana keadaanmu, No?”
Hatta menyapanya dengan sebutan yang digunakannya di masa lalu.
Tangannya memegang lembut tangan Soekarno. Panasnya menjalari jemarinya.
Dia ingin memberikan kekuatan pada orang yang sangat dihormatinya ini.
Bibir Soekarno bergetar, tiba-tiba, masih dengan lemah, dia balik
bertanya dengan bahasa Belanda. Sesuatu yang biasa mereka berdua lakukan
ketika mereka. masih bersatu dalam Dwi Tunggal. “Hoe gaat het met
jou…?” Bagaimana keadaanmu? Hatta memaksakan diri tersenyum. Tangannya
masih memegang lengan Soekarno. Soekarno kemudian terisak bagai anak
kecil. Lelaki perkasa itu menangis di depan kawan seperjuangannya, bagai
bayi yang kehilangan mainan. Hatta tidak lagi mampu mengendalikan
perasaannya. Pertahanannya bobol. Airmatanya juga tumpah. Hatta ikut
menangis. Kedua teman lama yang sempat berpisah itu saling berpegangan
tangan seolah takut berpisah. Hatta tahu, waktu yang tersedia bagi orang
yang sangat dikaguminya ini tidak akan lama lagi. Dan Hatta juga tahu,
betapa kejamnya siksaan tanpa pukulan yang dialami sahabatnya ini.
Sesuatu yang hanya bisa dilakukan oleh manusia yang tidak punya nurani.
“No…” Hanya itu yang bisa terucap dari bibirnya. Hatta tidak mampu
mengucapkan lebih. Bibirnya bergetar menahan kesedihan sekaligus
kekecewaannya. Bahunya. terguncang-guncang. Jauh di lubuk hatinya, Hatta
sangat marah pada penguasa baru yang sampai hati menyiksa bapak bangsa
ini. Walau prinsip politik antara dirinya dengan Soekarno tidak
bersesuaian, namun hal itu sama sekali tidak merusak persabatannya yang
demikian erat dan tulus. Hatta masih memegang lengan Soekarno ketika
kawannya ini kembali memejamkan matanya. Jarum jam terus bergerak.
Merambati angka demi angka.
Sehari setelah pertemuan dengan Hatta, kondisi Soekarno yang sudah
buruk, terus merosot. Putera Sang Fajar itu tidak mampu lagi membuka
kedua matanya. Suhu. badannya terus meninggi. Soekarno kini menggigil.
Peluh membasahi bantal dan piyamanya. Malamnya Dewi Soekarno dan
puterinya yang masih berusia tiga tahun, Karina, hadir di rumah sakit.
Soekarno belum pernah sekali pun melihat anaknya.
Minggu pagi, 21 Juni 1970. Dokter Mardjono, salah seorang anggota tim
dokter. kepresidenan seperti biasa melakukan pemeriksaan rutin. Bersama
dua orang. paramedis, Dokter Mardjono memeriksa kondisi pasien
istimewanya ini. Sebagai seorang dokter yang telah berpengalaman,
Mardjono tahu waktunya tidak akan lama lagi. Dengan sangat hati-hati dan
penuh hormat, dia memeriksa denyut nadi Soekarno. Dengan sisa kekuatan
yang masih ada, Soekarno menggerakkan tangan kanannya, memegang lengan
dokternya. Mardjono merasakan panas yang demikian tinggi dari tangan
yang amat lemah ini. Tiba-tiba tangan yang panas itu terkulai. Detik itu
juga Soekarno menghembuskan nafas terakhirnya. Kedua matanya tidak
pernah mampu lagi untuk membuka. Tubuhnya tergolek tak bergerak lagi.
Kini untuk selamanya.
Source: http://www.mediametafisika.com/2013/10/kisah-misteri-dibalik-meninggalnya-tiga.html
Disalin dari WWW.MEDIAMETAFISIKA.COM | kontent ini memiliki hak cipta.
Source: http://www.mediametafisika.com/2013/10/kisah-misteri-dibalik-meninggalnya-tiga.html
Disalin dari WWW.MEDIAMETAFISIKA.COM | kontent ini memiliki hak cipta.
Soekarno Ir.
Soekarno adalah Presiden Indonesia pertama yang menjabat pada periode
1945–1966.Ia memainkan peranan penting untuk memerdekakan bangsa
Indonesia dari penjajahan Belanda.Soekarno adalah penggali Pancasila
karena ia yang pertama kali mencetuskan konsep mengenai dasar negara
Indonesia itu dan ia sendiri yang menamainya Pancasila. Soekarno lahir
di Surabaya Jawa Timur, 6 Juni 1901 – meninggal di Jakarta, 21 Juni 1970
pada umur 69 tahun
Kesehatan Soekarno sudah mulai menurun sejak bulan Agustus
1965.Sebelumnya, ia telah dinyatakan mengidap gangguan ginjal dan pernah
menjalani perawatan di Wina, Austria tahun 1961 dan 1964.Prof. Dr. K.
Fellinger dari Fakultas Kedokteran Universitas Wina menyarankan agar
ginjal kiri Soekarno diangkat tetapi ia menolaknya dan lebih memilih
pengobatan tradisional.Ia masih bertahan selama 5 tahun sebelum akhirnya
meninggal pada hari Minggu, 21 Juni 1970 di RSPAD (Rumah Sakit Pusat
Angkatan Darat) Gatot Subroto, Jakarta dengan status sebagai tahanan
politik.
Jenazah Soekarno pun dipindahkan dari RSPAD ke Wisma Yasso yang dimiliki
oleh Ratna Sari Dewi.Sebelum dinyatakan wafat, pemeriksaan rutin
terhadap Soekarno sempat dilakukan oleh Dokter Mahar Mardjono yang
merupakan anggota tim dokter kepresidenan.Tidak lama kemudian
dikeluarkanlah komunike medis yang ditandatangani oleh Ketua Prof. Dr.
Mahar Mardjono beserta Wakil Ketua Mayor Jenderal Dr. (TNI AD) Rubiono
Kertopati.
Komunike medis tersebut menyatakan hal sebagai berikut:
Pada hari Sabtu tanggal 20 Juni 1970 jam 20.30 keadaan kesehatan Ir.
Soekarno semakin memburuk dan kesadaran berangsur-angsur menurun.
Tanggal 21 Juni 1970 jam 03.50 pagi, Ir. Soekarno dalam keadaan
tidak sadar dan kemudian pada jam 07.00 Ir. Soekarno meninggal dunia.
Tim dokter secara terus-menerus berusaha mengatasi keadaan kritis
Ir. Soekarno hingga saat meninggalnya.
Walaupun Soekarno pernah meminta agar dirinya dimakamkan di Istana Batu
Tulis, Bogor, namun pemerintahan Presiden Soeharto memilih Kota Blitar,
Jawa Timur, sebagai tempat pemakaman Soekarno. Hal tersebut ditetapkan
lewat Keppres RI No. 44 tahun 1970.Jenazah Soekarno dibawa ke Blitar
sehari setelah kematiannya dan dimakamkan keesokan harinya bersebelahan
dengan makam ibunya. Upacara pemakaman Soekarno dipimpin oleh Panglima
ABRI Jenderal M. Panggabean sebagai inspektur upacara.Pemerintah
kemudian menetapkan masa berkabung selama tujuh hari.
Meninggalnya sang proklamator kemerdekaan Indonesia sampai sekarang
menyisakan misteri. Perawatan penyakit, masalah pemakaman dan pembatasan
keluarga Soekarno sampai sekarang menjadi cerita yang tidak pernah
selesai dan menjadi kontroversi dan misteri
Namun jauh sebelum pertemuan itu, Kartono bertemu Wu Jie Ping, dokter
yang pernah merawat Soekarno di Hong Kong. Wu mengungkapkan bahwa
Soekarno hanya mengalami stroke ringan akibat penyempitan sesaat di
pembuluh darah otak saat diberitakan sakit pada awal Agustus 1965, dan
sama sekali tidak mengalami koma seperti isu yang beredar. Ini menepis
spekulasi bahwa Soekarno tidak akan mampu menyampaikan pidato kenegaraan
pada peringatan hari proklamasi 17 Agustus 1965. Dan nyatanya, Soekarno
tetap hadir pada peringatan detik-detik proklamasi 17 Agustus itu di
Istana Merdeka, lengkap dengan tongkat komandonya.
Ruangan intensive care RSPAD Gatot Subroto dipenuhi tentara sejak pagi.
Serdadu berseragam dan bersenjata lengkap bersiaga penuh di beberapa
titik strategis rumah sakit tersebut. Tak kalah banyaknya, petugas
keamanan berpakaian preman juga hilir mudik di koridor rumah sakit
hingga pelataran parkir.
Sedari pagi, suasana mencekam sudah terasa. Kabar yang berhembus
mengatakan, mantan Presiden Soekarno akan dibawa ke rumah sakit ini dari
rumah tahanannya di Wisma Yaso yang hanya berjarak lima kilometer.
Derik-detik menjelang kematian Soekarno dimula ketika di dalam ruang
perawatan yang sangat sederhana untuk ukuran seorang mantan presiden,
Soekarno tergolek lemah di pembaringan. Sudah beberapa hari ini
kesehatannya sangat mundur. Sepanjang hari, orang yang dulu pernah
sangat berkuasa ini terus memejamkan mata. Suhu tubuhnya sangat tinggi.
Penyakit ginjal yang tidak dirawat secara semestinya kian menggerogoti
kekuatan tubuhnya. Lelaki yang pernah amat jantan dan berwibawa—dan
sebab itu banyak digila-gilai perempuan seantero jagad, sekarang tak
ubahnya bagai sesosok mayat hidup. Tiada lagi wajah gantengnya. Kini
wajah yang dihiasi gigi gingsulnya telah membengkak, tanda bahwa racun
telah menyebar ke mana-mana. Bukan hanya bengkak, tapi bolong-bolong
bagaikan permukaan bulan. Mulutnya yang dahulu mampu menyihir jutaan
massa dengan pidato-pidatonya yang sangat memukau, kini hanya terkatup
rapat dan kering. Sebentar-sebentar bibirnya gemetar. Menahan sakit.
Kedua tangannya yang dahulu sanggup meninju langit dan mencakar udara,
kini tergolek lemas di sisi tubuhnya yang kian kurus.
Megawati, anak sulungnya dari Fatmawati diizinkan tentara untuk
mengunjungi ayahnya. Menyaksikan ayahnya yang tergolek lemah dan tidak
mampu membuka matanya, kedua mata Mega menitikkan airmata. Bibirnya
secara perlahan didekatkan ke telinga manusia yang paling dicintainya
ini. “Pak, Pak, ini Ega…” Senyap.
Ayahnya tak bergerak. Kedua matanya juga tidak membuka. Namun kedua
bibir Soekarno yang telah pecah-pecah bergerak-gerak kecil, gemetar,
seolah ingin mengatakan sesuatu pada puteri sulungnya itu. Soekarno
tampak mengetahui kehadiran Megawati. Tapi dia tidak mampu membuka
matanya. Tangan kanannya bergetar seolah ingin menuliskan sesuatu untuk
puteri sulungnya, tapi tubuhnya terlampau lemah untuk sekadar menulis.
Tangannya kembali terkulai. Soekarno terdiam lagi.
Melihat kenyataan itu, perasaan Megawati amat terpukul. Air matanya yang
sedari tadi ditahan kini menitik jatuh. Kian deras. Perempuan muda itu
menutupi hidungnya dengan sapu tangan. Tak kuat menerima kenyataan,
Megawati menjauh dan limbung. Mega segera dipapah keluar. Jarum jam
terus bergerak. Di luar kamar, sepasukan tentara terus berjaga.lengkap
dengan senjata. Malam harinya ketahanan tubuh seorang Soekarno ambrol.
Dia coma. Antara hidup dan mati. Tim dokter segera memberikan bantuan
seperlunya.
Keesokan hari, mantan wakil presiden Muhammad Hatta diizinkan
mengunjungi kolega lamanya ini. Hatta yang ditemani sekretarisnya
menghampiri pembaringan Soekarno dengan sangat hati-hati. Dengan segenap
kekuatan yang berhasil dihimpunnya, Soekarno berhasil membuka matanya.
Menahan rasa sakit yang tak. terperi, Soekarno berkata lemah. “Hatta..,
kau di sini..?” Yang disapa tidak bisa menyembunyikan kesedihannya.
Namun Hatta tidak mau kawannya ini mengetahui jika dirinya bersedih.
Dengan sekuat tenaga memendam kepedihan yang mencabik hati, Hatta
berusaha menjawab Soekarno dengan wajar. Sedikit tersenyum menghibur.
“Ya, bagaimana keadaanmu, No?”
Hatta menyapanya dengan sebutan yang digunakannya di masa lalu.
Tangannya memegang lembut tangan Soekarno. Panasnya menjalari jemarinya.
Dia ingin memberikan kekuatan pada orang yang sangat dihormatinya ini.
Bibir Soekarno bergetar, tiba-tiba, masih dengan lemah, dia balik
bertanya dengan bahasa Belanda. Sesuatu yang biasa mereka berdua lakukan
ketika mereka. masih bersatu dalam Dwi Tunggal. “Hoe gaat het met
jou…?” Bagaimana keadaanmu? Hatta memaksakan diri tersenyum. Tangannya
masih memegang lengan Soekarno. Soekarno kemudian terisak bagai anak
kecil. Lelaki perkasa itu menangis di depan kawan seperjuangannya, bagai
bayi yang kehilangan mainan. Hatta tidak lagi mampu mengendalikan
perasaannya. Pertahanannya bobol. Airmatanya juga tumpah. Hatta ikut
menangis. Kedua teman lama yang sempat berpisah itu saling berpegangan
tangan seolah takut berpisah. Hatta tahu, waktu yang tersedia bagi orang
yang sangat dikaguminya ini tidak akan lama lagi. Dan Hatta juga tahu,
betapa kejamnya siksaan tanpa pukulan yang dialami sahabatnya ini.
Sesuatu yang hanya bisa dilakukan oleh manusia yang tidak punya nurani.
“No…” Hanya itu yang bisa terucap dari bibirnya. Hatta tidak mampu
mengucapkan lebih. Bibirnya bergetar menahan kesedihan sekaligus
kekecewaannya. Bahunya. terguncang-guncang. Jauh di lubuk hatinya, Hatta
sangat marah pada penguasa baru yang sampai hati menyiksa bapak bangsa
ini. Walau prinsip politik antara dirinya dengan Soekarno tidak
bersesuaian, namun hal itu sama sekali tidak merusak persabatannya yang
demikian erat dan tulus. Hatta masih memegang lengan Soekarno ketika
kawannya ini kembali memejamkan matanya. Jarum jam terus bergerak.
Merambati angka demi angka.
Sehari setelah pertemuan dengan Hatta, kondisi Soekarno yang sudah
buruk, terus merosot. Putera Sang Fajar itu tidak mampu lagi membuka
kedua matanya. Suhu. badannya terus meninggi. Soekarno kini menggigil.
Peluh membasahi bantal dan piyamanya. Malamnya Dewi Soekarno dan
puterinya yang masih berusia tiga tahun, Karina, hadir di rumah sakit.
Soekarno belum pernah sekali pun melihat anaknya.
Minggu pagi, 21 Juni 1970. Dokter Mardjono, salah seorang anggota tim
dokter. kepresidenan seperti biasa melakukan pemeriksaan rutin. Bersama
dua orang. paramedis, Dokter Mardjono memeriksa kondisi pasien
istimewanya ini. Sebagai seorang dokter yang telah berpengalaman,
Mardjono tahu waktunya tidak akan lama lagi. Dengan sangat hati-hati dan
penuh hormat, dia memeriksa denyut nadi Soekarno. Dengan sisa kekuatan
yang masih ada, Soekarno menggerakkan tangan kanannya, memegang lengan
dokternya. Mardjono merasakan panas yang demikian tinggi dari tangan
yang amat lemah ini. Tiba-tiba tangan yang panas itu terkulai. Detik itu
juga Soekarno menghembuskan nafas terakhirnya. Kedua matanya tidak
pernah mampu lagi untuk membuka. Tubuhnya tergolek tak bergerak lagi.
Kini untuk selamanya.
Source: http://www.mediametafisika.com/2013/10/kisah-misteri-dibalik-meninggalnya-tiga.html
Disalin dari WWW.MEDIAMETAFISIKA.COM | kontent ini memiliki hak cipta.
Source: http://www.mediametafisika.com/2013/10/kisah-misteri-dibalik-meninggalnya-tiga.html
Disalin dari WWW.MEDIAMETAFISIKA.COM | kontent ini memiliki hak cipta.
Soekarno Ir.
Soekarno adalah Presiden Indonesia pertama yang menjabat pada periode
1945–1966.Ia memainkan peranan penting untuk memerdekakan bangsa
Indonesia dari penjajahan Belanda.Soekarno adalah penggali Pancasila
karena ia yang pertama kali mencetuskan konsep mengenai dasar negara
Indonesia itu dan ia sendiri yang menamainya Pancasila. Soekarno lahir
di Surabaya Jawa Timur, 6 Juni 1901 – meninggal di Jakarta, 21 Juni 1970
pada umur 69 tahun
Kesehatan Soekarno sudah mulai menurun sejak bulan Agustus
1965.Sebelumnya, ia telah dinyatakan mengidap gangguan ginjal dan pernah
menjalani perawatan di Wina, Austria tahun 1961 dan 1964.Prof. Dr. K.
Fellinger dari Fakultas Kedokteran Universitas Wina menyarankan agar
ginjal kiri Soekarno diangkat tetapi ia menolaknya dan lebih memilih
pengobatan tradisional.Ia masih bertahan selama 5 tahun sebelum akhirnya
meninggal pada hari Minggu, 21 Juni 1970 di RSPAD (Rumah Sakit Pusat
Angkatan Darat) Gatot Subroto, Jakarta dengan status sebagai tahanan
politik.
Jenazah Soekarno pun dipindahkan dari RSPAD ke Wisma Yasso yang dimiliki
oleh Ratna Sari Dewi.Sebelum dinyatakan wafat, pemeriksaan rutin
terhadap Soekarno sempat dilakukan oleh Dokter Mahar Mardjono yang
merupakan anggota tim dokter kepresidenan.Tidak lama kemudian
dikeluarkanlah komunike medis yang ditandatangani oleh Ketua Prof. Dr.
Mahar Mardjono beserta Wakil Ketua Mayor Jenderal Dr. (TNI AD) Rubiono
Kertopati.
Komunike medis tersebut menyatakan hal sebagai berikut:
Pada hari Sabtu tanggal 20 Juni 1970 jam 20.30 keadaan kesehatan Ir.
Soekarno semakin memburuk dan kesadaran berangsur-angsur menurun.
Tanggal 21 Juni 1970 jam 03.50 pagi, Ir. Soekarno dalam keadaan
tidak sadar dan kemudian pada jam 07.00 Ir. Soekarno meninggal dunia.
Tim dokter secara terus-menerus berusaha mengatasi keadaan kritis
Ir. Soekarno hingga saat meninggalnya.
Walaupun Soekarno pernah meminta agar dirinya dimakamkan di Istana Batu
Tulis, Bogor, namun pemerintahan Presiden Soeharto memilih Kota Blitar,
Jawa Timur, sebagai tempat pemakaman Soekarno. Hal tersebut ditetapkan
lewat Keppres RI No. 44 tahun 1970.Jenazah Soekarno dibawa ke Blitar
sehari setelah kematiannya dan dimakamkan keesokan harinya bersebelahan
dengan makam ibunya. Upacara pemakaman Soekarno dipimpin oleh Panglima
ABRI Jenderal M. Panggabean sebagai inspektur upacara.Pemerintah
kemudian menetapkan masa berkabung selama tujuh hari.
Meninggalnya sang proklamator kemerdekaan Indonesia sampai sekarang
menyisakan misteri. Perawatan penyakit, masalah pemakaman dan pembatasan
keluarga Soekarno sampai sekarang menjadi cerita yang tidak pernah
selesai dan menjadi kontroversi dan misteri
Namun jauh sebelum pertemuan itu, Kartono bertemu Wu Jie Ping, dokter
yang pernah merawat Soekarno di Hong Kong. Wu mengungkapkan bahwa
Soekarno hanya mengalami stroke ringan akibat penyempitan sesaat di
pembuluh darah otak saat diberitakan sakit pada awal Agustus 1965, dan
sama sekali tidak mengalami koma seperti isu yang beredar. Ini menepis
spekulasi bahwa Soekarno tidak akan mampu menyampaikan pidato kenegaraan
pada peringatan hari proklamasi 17 Agustus 1965. Dan nyatanya, Soekarno
tetap hadir pada peringatan detik-detik proklamasi 17 Agustus itu di
Istana Merdeka, lengkap dengan tongkat komandonya.
Ruangan intensive care RSPAD Gatot Subroto dipenuhi tentara sejak pagi.
Serdadu berseragam dan bersenjata lengkap bersiaga penuh di beberapa
titik strategis rumah sakit tersebut. Tak kalah banyaknya, petugas
keamanan berpakaian preman juga hilir mudik di koridor rumah sakit
hingga pelataran parkir.
Sedari pagi, suasana mencekam sudah terasa. Kabar yang berhembus
mengatakan, mantan Presiden Soekarno akan dibawa ke rumah sakit ini dari
rumah tahanannya di Wisma Yaso yang hanya berjarak lima kilometer.
Derik-detik menjelang kematian Soekarno dimula ketika di dalam ruang
perawatan yang sangat sederhana untuk ukuran seorang mantan presiden,
Soekarno tergolek lemah di pembaringan. Sudah beberapa hari ini
kesehatannya sangat mundur. Sepanjang hari, orang yang dulu pernah
sangat berkuasa ini terus memejamkan mata. Suhu tubuhnya sangat tinggi.
Penyakit ginjal yang tidak dirawat secara semestinya kian menggerogoti
kekuatan tubuhnya. Lelaki yang pernah amat jantan dan berwibawa—dan
sebab itu banyak digila-gilai perempuan seantero jagad, sekarang tak
ubahnya bagai sesosok mayat hidup. Tiada lagi wajah gantengnya. Kini
wajah yang dihiasi gigi gingsulnya telah membengkak, tanda bahwa racun
telah menyebar ke mana-mana. Bukan hanya bengkak, tapi bolong-bolong
bagaikan permukaan bulan. Mulutnya yang dahulu mampu menyihir jutaan
massa dengan pidato-pidatonya yang sangat memukau, kini hanya terkatup
rapat dan kering. Sebentar-sebentar bibirnya gemetar. Menahan sakit.
Kedua tangannya yang dahulu sanggup meninju langit dan mencakar udara,
kini tergolek lemas di sisi tubuhnya yang kian kurus.
Megawati, anak sulungnya dari Fatmawati diizinkan tentara untuk
mengunjungi ayahnya. Menyaksikan ayahnya yang tergolek lemah dan tidak
mampu membuka matanya, kedua mata Mega menitikkan airmata. Bibirnya
secara perlahan didekatkan ke telinga manusia yang paling dicintainya
ini. “Pak, Pak, ini Ega…” Senyap.
Ayahnya tak bergerak. Kedua matanya juga tidak membuka. Namun kedua
bibir Soekarno yang telah pecah-pecah bergerak-gerak kecil, gemetar,
seolah ingin mengatakan sesuatu pada puteri sulungnya itu. Soekarno
tampak mengetahui kehadiran Megawati. Tapi dia tidak mampu membuka
matanya. Tangan kanannya bergetar seolah ingin menuliskan sesuatu untuk
puteri sulungnya, tapi tubuhnya terlampau lemah untuk sekadar menulis.
Tangannya kembali terkulai. Soekarno terdiam lagi.
Melihat kenyataan itu, perasaan Megawati amat terpukul. Air matanya yang
sedari tadi ditahan kini menitik jatuh. Kian deras. Perempuan muda itu
menutupi hidungnya dengan sapu tangan. Tak kuat menerima kenyataan,
Megawati menjauh dan limbung. Mega segera dipapah keluar. Jarum jam
terus bergerak. Di luar kamar, sepasukan tentara terus berjaga.lengkap
dengan senjata. Malam harinya ketahanan tubuh seorang Soekarno ambrol.
Dia coma. Antara hidup dan mati. Tim dokter segera memberikan bantuan
seperlunya.
Keesokan hari, mantan wakil presiden Muhammad Hatta diizinkan
mengunjungi kolega lamanya ini. Hatta yang ditemani sekretarisnya
menghampiri pembaringan Soekarno dengan sangat hati-hati. Dengan segenap
kekuatan yang berhasil dihimpunnya, Soekarno berhasil membuka matanya.
Menahan rasa sakit yang tak. terperi, Soekarno berkata lemah. “Hatta..,
kau di sini..?” Yang disapa tidak bisa menyembunyikan kesedihannya.
Namun Hatta tidak mau kawannya ini mengetahui jika dirinya bersedih.
Dengan sekuat tenaga memendam kepedihan yang mencabik hati, Hatta
berusaha menjawab Soekarno dengan wajar. Sedikit tersenyum menghibur.
“Ya, bagaimana keadaanmu, No?”
Hatta menyapanya dengan sebutan yang digunakannya di masa lalu.
Tangannya memegang lembut tangan Soekarno. Panasnya menjalari jemarinya.
Dia ingin memberikan kekuatan pada orang yang sangat dihormatinya ini.
Bibir Soekarno bergetar, tiba-tiba, masih dengan lemah, dia balik
bertanya dengan bahasa Belanda. Sesuatu yang biasa mereka berdua lakukan
ketika mereka. masih bersatu dalam Dwi Tunggal. “Hoe gaat het met
jou…?” Bagaimana keadaanmu? Hatta memaksakan diri tersenyum. Tangannya
masih memegang lengan Soekarno. Soekarno kemudian terisak bagai anak
kecil. Lelaki perkasa itu menangis di depan kawan seperjuangannya, bagai
bayi yang kehilangan mainan. Hatta tidak lagi mampu mengendalikan
perasaannya. Pertahanannya bobol. Airmatanya juga tumpah. Hatta ikut
menangis. Kedua teman lama yang sempat berpisah itu saling berpegangan
tangan seolah takut berpisah. Hatta tahu, waktu yang tersedia bagi orang
yang sangat dikaguminya ini tidak akan lama lagi. Dan Hatta juga tahu,
betapa kejamnya siksaan tanpa pukulan yang dialami sahabatnya ini.
Sesuatu yang hanya bisa dilakukan oleh manusia yang tidak punya nurani.
“No…” Hanya itu yang bisa terucap dari bibirnya. Hatta tidak mampu
mengucapkan lebih. Bibirnya bergetar menahan kesedihan sekaligus
kekecewaannya. Bahunya. terguncang-guncang. Jauh di lubuk hatinya, Hatta
sangat marah pada penguasa baru yang sampai hati menyiksa bapak bangsa
ini. Walau prinsip politik antara dirinya dengan Soekarno tidak
bersesuaian, namun hal itu sama sekali tidak merusak persabatannya yang
demikian erat dan tulus. Hatta masih memegang lengan Soekarno ketika
kawannya ini kembali memejamkan matanya. Jarum jam terus bergerak.
Merambati angka demi angka.
Sehari setelah pertemuan dengan Hatta, kondisi Soekarno yang sudah
buruk, terus merosot. Putera Sang Fajar itu tidak mampu lagi membuka
kedua matanya. Suhu. badannya terus meninggi. Soekarno kini menggigil.
Peluh membasahi bantal dan piyamanya. Malamnya Dewi Soekarno dan
puterinya yang masih berusia tiga tahun, Karina, hadir di rumah sakit.
Soekarno belum pernah sekali pun melihat anaknya.
Minggu pagi, 21 Juni 1970. Dokter Mardjono, salah seorang anggota tim
dokter. kepresidenan seperti biasa melakukan pemeriksaan rutin. Bersama
dua orang. paramedis, Dokter Mardjono memeriksa kondisi pasien
istimewanya ini. Sebagai seorang dokter yang telah berpengalaman,
Mardjono tahu waktunya tidak akan lama lagi. Dengan sangat hati-hati dan
penuh hormat, dia memeriksa denyut nadi Soekarno. Dengan sisa kekuatan
yang masih ada, Soekarno menggerakkan tangan kanannya, memegang lengan
dokternya. Mardjono merasakan panas yang demikian tinggi dari tangan
yang amat lemah ini. Tiba-tiba tangan yang panas itu terkulai. Detik itu
juga Soekarno menghembuskan nafas terakhirnya. Kedua matanya tidak
pernah mampu lagi untuk membuka. Tubuhnya tergolek tak bergerak lagi.
Kini untuk selamanya.
Source: http://www.mediametafisika.com/2013/10/kisah-misteri-dibalik-meninggalnya-tiga.html
Disalin dari WWW.MEDIAMETAFISIKA.COM | kontent ini memiliki hak cipta.
Source: http://www.mediametafisika.com/2013/10/kisah-misteri-dibalik-meninggalnya-tiga.html
Disalin dari WWW.MEDIAMETAFISIKA.COM | kontent ini memiliki hak cipta.
Soekarno Ir.
Soekarno adalah Presiden Indonesia pertama yang menjabat pada periode
1945–1966.Ia memainkan peranan penting untuk memerdekakan bangsa
Indonesia dari penjajahan Belanda.Soekarno adalah penggali Pancasila
karena ia yang pertama kali mencetuskan konsep mengenai dasar negara
Indonesia itu dan ia sendiri yang menamainya Pancasila. Soekarno lahir
di Surabaya Jawa Timur, 6 Juni 1901 – meninggal di Jakarta, 21 Juni 1970
pada umur 69 tahun
Kesehatan Soekarno sudah mulai menurun sejak bulan Agustus
1965.Sebelumnya, ia telah dinyatakan mengidap gangguan ginjal dan pernah
menjalani perawatan di Wina, Austria tahun 1961 dan 1964.Prof. Dr. K.
Fellinger dari Fakultas Kedokteran Universitas Wina menyarankan agar
ginjal kiri Soekarno diangkat tetapi ia menolaknya dan lebih memilih
pengobatan tradisional.Ia masih bertahan selama 5 tahun sebelum akhirnya
meninggal pada hari Minggu, 21 Juni 1970 di RSPAD (Rumah Sakit Pusat
Angkatan Darat) Gatot Subroto, Jakarta dengan status sebagai tahanan
politik.
Jenazah Soekarno pun dipindahkan dari RSPAD ke Wisma Yasso yang dimiliki
oleh Ratna Sari Dewi.Sebelum dinyatakan wafat, pemeriksaan rutin
terhadap Soekarno sempat dilakukan oleh Dokter Mahar Mardjono yang
merupakan anggota tim dokter kepresidenan.Tidak lama kemudian
dikeluarkanlah komunike medis yang ditandatangani oleh Ketua Prof. Dr.
Mahar Mardjono beserta Wakil Ketua Mayor Jenderal Dr. (TNI AD) Rubiono
Kertopati.
Komunike medis tersebut menyatakan hal sebagai berikut:
Pada hari Sabtu tanggal 20 Juni 1970 jam 20.30 keadaan kesehatan Ir.
Soekarno semakin memburuk dan kesadaran berangsur-angsur menurun.
Tanggal 21 Juni 1970 jam 03.50 pagi, Ir. Soekarno dalam keadaan
tidak sadar dan kemudian pada jam 07.00 Ir. Soekarno meninggal dunia.
Tim dokter secara terus-menerus berusaha mengatasi keadaan kritis
Ir. Soekarno hingga saat meninggalnya.
Walaupun Soekarno pernah meminta agar dirinya dimakamkan di Istana Batu
Tulis, Bogor, namun pemerintahan Presiden Soeharto memilih Kota Blitar,
Jawa Timur, sebagai tempat pemakaman Soekarno. Hal tersebut ditetapkan
lewat Keppres RI No. 44 tahun 1970.Jenazah Soekarno dibawa ke Blitar
sehari setelah kematiannya dan dimakamkan keesokan harinya bersebelahan
dengan makam ibunya. Upacara pemakaman Soekarno dipimpin oleh Panglima
ABRI Jenderal M. Panggabean sebagai inspektur upacara.Pemerintah
kemudian menetapkan masa berkabung selama tujuh hari.
Meninggalnya sang proklamator kemerdekaan Indonesia sampai sekarang
menyisakan misteri. Perawatan penyakit, masalah pemakaman dan pembatasan
keluarga Soekarno sampai sekarang menjadi cerita yang tidak pernah
selesai dan menjadi kontroversi dan misteri
Namun jauh sebelum pertemuan itu, Kartono bertemu Wu Jie Ping, dokter
yang pernah merawat Soekarno di Hong Kong. Wu mengungkapkan bahwa
Soekarno hanya mengalami stroke ringan akibat penyempitan sesaat di
pembuluh darah otak saat diberitakan sakit pada awal Agustus 1965, dan
sama sekali tidak mengalami koma seperti isu yang beredar. Ini menepis
spekulasi bahwa Soekarno tidak akan mampu menyampaikan pidato kenegaraan
pada peringatan hari proklamasi 17 Agustus 1965. Dan nyatanya, Soekarno
tetap hadir pada peringatan detik-detik proklamasi 17 Agustus itu di
Istana Merdeka, lengkap dengan tongkat komandonya.
Ruangan intensive care RSPAD Gatot Subroto dipenuhi tentara sejak pagi.
Serdadu berseragam dan bersenjata lengkap bersiaga penuh di beberapa
titik strategis rumah sakit tersebut. Tak kalah banyaknya, petugas
keamanan berpakaian preman juga hilir mudik di koridor rumah sakit
hingga pelataran parkir.
Sedari pagi, suasana mencekam sudah terasa. Kabar yang berhembus
mengatakan, mantan Presiden Soekarno akan dibawa ke rumah sakit ini dari
rumah tahanannya di Wisma Yaso yang hanya berjarak lima kilometer.
Derik-detik menjelang kematian Soekarno dimula ketika di dalam ruang
perawatan yang sangat sederhana untuk ukuran seorang mantan presiden,
Soekarno tergolek lemah di pembaringan. Sudah beberapa hari ini
kesehatannya sangat mundur. Sepanjang hari, orang yang dulu pernah
sangat berkuasa ini terus memejamkan mata. Suhu tubuhnya sangat tinggi.
Penyakit ginjal yang tidak dirawat secara semestinya kian menggerogoti
kekuatan tubuhnya. Lelaki yang pernah amat jantan dan berwibawa—dan
sebab itu banyak digila-gilai perempuan seantero jagad, sekarang tak
ubahnya bagai sesosok mayat hidup. Tiada lagi wajah gantengnya. Kini
wajah yang dihiasi gigi gingsulnya telah membengkak, tanda bahwa racun
telah menyebar ke mana-mana. Bukan hanya bengkak, tapi bolong-bolong
bagaikan permukaan bulan. Mulutnya yang dahulu mampu menyihir jutaan
massa dengan pidato-pidatonya yang sangat memukau, kini hanya terkatup
rapat dan kering. Sebentar-sebentar bibirnya gemetar. Menahan sakit.
Kedua tangannya yang dahulu sanggup meninju langit dan mencakar udara,
kini tergolek lemas di sisi tubuhnya yang kian kurus.
Megawati, anak sulungnya dari Fatmawati diizinkan tentara untuk
mengunjungi ayahnya. Menyaksikan ayahnya yang tergolek lemah dan tidak
mampu membuka matanya, kedua mata Mega menitikkan airmata. Bibirnya
secara perlahan didekatkan ke telinga manusia yang paling dicintainya
ini. “Pak, Pak, ini Ega…” Senyap.
Ayahnya tak bergerak. Kedua matanya juga tidak membuka. Namun kedua
bibir Soekarno yang telah pecah-pecah bergerak-gerak kecil, gemetar,
seolah ingin mengatakan sesuatu pada puteri sulungnya itu. Soekarno
tampak mengetahui kehadiran Megawati. Tapi dia tidak mampu membuka
matanya. Tangan kanannya bergetar seolah ingin menuliskan sesuatu untuk
puteri sulungnya, tapi tubuhnya terlampau lemah untuk sekadar menulis.
Tangannya kembali terkulai. Soekarno terdiam lagi.
Melihat kenyataan itu, perasaan Megawati amat terpukul. Air matanya yang
sedari tadi ditahan kini menitik jatuh. Kian deras. Perempuan muda itu
menutupi hidungnya dengan sapu tangan. Tak kuat menerima kenyataan,
Megawati menjauh dan limbung. Mega segera dipapah keluar. Jarum jam
terus bergerak. Di luar kamar, sepasukan tentara terus berjaga.lengkap
dengan senjata. Malam harinya ketahanan tubuh seorang Soekarno ambrol.
Dia coma. Antara hidup dan mati. Tim dokter segera memberikan bantuan
seperlunya.
Keesokan hari, mantan wakil presiden Muhammad Hatta diizinkan
mengunjungi kolega lamanya ini. Hatta yang ditemani sekretarisnya
menghampiri pembaringan Soekarno dengan sangat hati-hati. Dengan segenap
kekuatan yang berhasil dihimpunnya, Soekarno berhasil membuka matanya.
Menahan rasa sakit yang tak. terperi, Soekarno berkata lemah. “Hatta..,
kau di sini..?” Yang disapa tidak bisa menyembunyikan kesedihannya.
Namun Hatta tidak mau kawannya ini mengetahui jika dirinya bersedih.
Dengan sekuat tenaga memendam kepedihan yang mencabik hati, Hatta
berusaha menjawab Soekarno dengan wajar. Sedikit tersenyum menghibur.
“Ya, bagaimana keadaanmu, No?”
Hatta menyapanya dengan sebutan yang digunakannya di masa lalu.
Tangannya memegang lembut tangan Soekarno. Panasnya menjalari jemarinya.
Dia ingin memberikan kekuatan pada orang yang sangat dihormatinya ini.
Bibir Soekarno bergetar, tiba-tiba, masih dengan lemah, dia balik
bertanya dengan bahasa Belanda. Sesuatu yang biasa mereka berdua lakukan
ketika mereka. masih bersatu dalam Dwi Tunggal. “Hoe gaat het met
jou…?” Bagaimana keadaanmu? Hatta memaksakan diri tersenyum. Tangannya
masih memegang lengan Soekarno. Soekarno kemudian terisak bagai anak
kecil. Lelaki perkasa itu menangis di depan kawan seperjuangannya, bagai
bayi yang kehilangan mainan. Hatta tidak lagi mampu mengendalikan
perasaannya. Pertahanannya bobol. Airmatanya juga tumpah. Hatta ikut
menangis. Kedua teman lama yang sempat berpisah itu saling berpegangan
tangan seolah takut berpisah. Hatta tahu, waktu yang tersedia bagi orang
yang sangat dikaguminya ini tidak akan lama lagi. Dan Hatta juga tahu,
betapa kejamnya siksaan tanpa pukulan yang dialami sahabatnya ini.
Sesuatu yang hanya bisa dilakukan oleh manusia yang tidak punya nurani.
“No…” Hanya itu yang bisa terucap dari bibirnya. Hatta tidak mampu
mengucapkan lebih. Bibirnya bergetar menahan kesedihan sekaligus
kekecewaannya. Bahunya. terguncang-guncang. Jauh di lubuk hatinya, Hatta
sangat marah pada penguasa baru yang sampai hati menyiksa bapak bangsa
ini. Walau prinsip politik antara dirinya dengan Soekarno tidak
bersesuaian, namun hal itu sama sekali tidak merusak persabatannya yang
demikian erat dan tulus. Hatta masih memegang lengan Soekarno ketika
kawannya ini kembali memejamkan matanya. Jarum jam terus bergerak.
Merambati angka demi angka.
Sehari setelah pertemuan dengan Hatta, kondisi Soekarno yang sudah
buruk, terus merosot. Putera Sang Fajar itu tidak mampu lagi membuka
kedua matanya. Suhu. badannya terus meninggi. Soekarno kini menggigil.
Peluh membasahi bantal dan piyamanya. Malamnya Dewi Soekarno dan
puterinya yang masih berusia tiga tahun, Karina, hadir di rumah sakit.
Soekarno belum pernah sekali pun melihat anaknya.
Minggu pagi, 21 Juni 1970. Dokter Mardjono, salah seorang anggota tim
dokter. kepresidenan seperti biasa melakukan pemeriksaan rutin. Bersama
dua orang. paramedis, Dokter Mardjono memeriksa kondisi pasien
istimewanya ini. Sebagai seorang dokter yang telah berpengalaman,
Mardjono tahu waktunya tidak akan lama lagi. Dengan sangat hati-hati dan
penuh hormat, dia memeriksa denyut nadi Soekarno. Dengan sisa kekuatan
yang masih ada, Soekarno menggerakkan tangan kanannya, memegang lengan
dokternya. Mardjono merasakan panas yang demikian tinggi dari tangan
yang amat lemah ini. Tiba-tiba tangan yang panas itu terkulai. Detik itu
juga Soekarno menghembuskan nafas terakhirnya. Kedua matanya tidak
pernah mampu lagi untuk membuka. Tubuhnya tergolek tak bergerak lagi.
Kini untuk selamanya.
Source: http://www.mediametafisika.com/2013/10/kisah-misteri-dibalik-meninggalnya-tiga.html
Disalin dari WWW.MEDIAMETAFISIKA.COM | kontent ini memiliki hak cipta.
Source: http://www.mediametafisika.com/2013/10/kisah-misteri-dibalik-meninggalnya-tiga.html
Disalin dari WWW.MEDIAMETAFISIKA.COM | kontent ini memiliki hak cipta.
Soekarno Ir.
Soekarno adalah Presiden Indonesia pertama yang menjabat pada periode
1945–1966.Ia memainkan peranan penting untuk memerdekakan bangsa
Indonesia dari penjajahan Belanda.Soekarno adalah penggali Pancasila
karena ia yang pertama kali mencetuskan konsep mengenai dasar negara
Indonesia itu dan ia sendiri yang menamainya Pancasila. Soekarno lahir
di Surabaya Jawa Timur, 6 Juni 1901 – meninggal di Jakarta, 21 Juni 1970
pada umur 69 tahun
Kesehatan Soekarno sudah mulai menurun sejak bulan Agustus
1965.Sebelumnya, ia telah dinyatakan mengidap gangguan ginjal dan pernah
menjalani perawatan di Wina, Austria tahun 1961 dan 1964.Prof. Dr. K.
Fellinger dari Fakultas Kedokteran Universitas Wina menyarankan agar
ginjal kiri Soekarno diangkat tetapi ia menolaknya dan lebih memilih
pengobatan tradisional.Ia masih bertahan selama 5 tahun sebelum akhirnya
meninggal pada hari Minggu, 21 Juni 1970 di RSPAD (Rumah Sakit Pusat
Angkatan Darat) Gatot Subroto, Jakarta dengan status sebagai tahanan
politik.
Jenazah Soekarno pun dipindahkan dari RSPAD ke Wisma Yasso yang dimiliki
oleh Ratna Sari Dewi.Sebelum dinyatakan wafat, pemeriksaan rutin
terhadap Soekarno sempat dilakukan oleh Dokter Mahar Mardjono yang
merupakan anggota tim dokter kepresidenan.Tidak lama kemudian
dikeluarkanlah komunike medis yang ditandatangani oleh Ketua Prof. Dr.
Mahar Mardjono beserta Wakil Ketua Mayor Jenderal Dr. (TNI AD) Rubiono
Kertopati.
Komunike medis tersebut menyatakan hal sebagai berikut:
Pada hari Sabtu tanggal 20 Juni 1970 jam 20.30 keadaan kesehatan Ir.
Soekarno semakin memburuk dan kesadaran berangsur-angsur menurun.
Tanggal 21 Juni 1970 jam 03.50 pagi, Ir. Soekarno dalam keadaan
tidak sadar dan kemudian pada jam 07.00 Ir. Soekarno meninggal dunia.
Tim dokter secara terus-menerus berusaha mengatasi keadaan kritis
Ir. Soekarno hingga saat meninggalnya.
Walaupun Soekarno pernah meminta agar dirinya dimakamkan di Istana Batu
Tulis, Bogor, namun pemerintahan Presiden Soeharto memilih Kota Blitar,
Jawa Timur, sebagai tempat pemakaman Soekarno. Hal tersebut ditetapkan
lewat Keppres RI No. 44 tahun 1970.Jenazah Soekarno dibawa ke Blitar
sehari setelah kematiannya dan dimakamkan keesokan harinya bersebelahan
dengan makam ibunya. Upacara pemakaman Soekarno dipimpin oleh Panglima
ABRI Jenderal M. Panggabean sebagai inspektur upacara.Pemerintah
kemudian menetapkan masa berkabung selama tujuh hari.
Meninggalnya sang proklamator kemerdekaan Indonesia sampai sekarang
menyisakan misteri. Perawatan penyakit, masalah pemakaman dan pembatasan
keluarga Soekarno sampai sekarang menjadi cerita yang tidak pernah
selesai dan menjadi kontroversi dan misteri
Namun jauh sebelum pertemuan itu, Kartono bertemu Wu Jie Ping, dokter
yang pernah merawat Soekarno di Hong Kong. Wu mengungkapkan bahwa
Soekarno hanya mengalami stroke ringan akibat penyempitan sesaat di
pembuluh darah otak saat diberitakan sakit pada awal Agustus 1965, dan
sama sekali tidak mengalami koma seperti isu yang beredar. Ini menepis
spekulasi bahwa Soekarno tidak akan mampu menyampaikan pidato kenegaraan
pada peringatan hari proklamasi 17 Agustus 1965. Dan nyatanya, Soekarno
tetap hadir pada peringatan detik-detik proklamasi 17 Agustus itu di
Istana Merdeka, lengkap dengan tongkat komandonya.
Ruangan intensive care RSPAD Gatot Subroto dipenuhi tentara sejak pagi.
Serdadu berseragam dan bersenjata lengkap bersiaga penuh di beberapa
titik strategis rumah sakit tersebut. Tak kalah banyaknya, petugas
keamanan berpakaian preman juga hilir mudik di koridor rumah sakit
hingga pelataran parkir.
Sedari pagi, suasana mencekam sudah terasa. Kabar yang berhembus
mengatakan, mantan Presiden Soekarno akan dibawa ke rumah sakit ini dari
rumah tahanannya di Wisma Yaso yang hanya berjarak lima kilometer.
Derik-detik menjelang kematian Soekarno dimula ketika di dalam ruang
perawatan yang sangat sederhana untuk ukuran seorang mantan presiden,
Soekarno tergolek lemah di pembaringan. Sudah beberapa hari ini
kesehatannya sangat mundur. Sepanjang hari, orang yang dulu pernah
sangat berkuasa ini terus memejamkan mata. Suhu tubuhnya sangat tinggi.
Penyakit ginjal yang tidak dirawat secara semestinya kian menggerogoti
kekuatan tubuhnya. Lelaki yang pernah amat jantan dan berwibawa—dan
sebab itu banyak digila-gilai perempuan seantero jagad, sekarang tak
ubahnya bagai sesosok mayat hidup. Tiada lagi wajah gantengnya. Kini
wajah yang dihiasi gigi gingsulnya telah membengkak, tanda bahwa racun
telah menyebar ke mana-mana. Bukan hanya bengkak, tapi bolong-bolong
bagaikan permukaan bulan. Mulutnya yang dahulu mampu menyihir jutaan
massa dengan pidato-pidatonya yang sangat memukau, kini hanya terkatup
rapat dan kering. Sebentar-sebentar bibirnya gemetar. Menahan sakit.
Kedua tangannya yang dahulu sanggup meninju langit dan mencakar udara,
kini tergolek lemas di sisi tubuhnya yang kian kurus.
Megawati, anak sulungnya dari Fatmawati diizinkan tentara untuk
mengunjungi ayahnya. Menyaksikan ayahnya yang tergolek lemah dan tidak
mampu membuka matanya, kedua mata Mega menitikkan airmata. Bibirnya
secara perlahan didekatkan ke telinga manusia yang paling dicintainya
ini. “Pak, Pak, ini Ega…” Senyap.
Ayahnya tak bergerak. Kedua matanya juga tidak membuka. Namun kedua
bibir Soekarno yang telah pecah-pecah bergerak-gerak kecil, gemetar,
seolah ingin mengatakan sesuatu pada puteri sulungnya itu. Soekarno
tampak mengetahui kehadiran Megawati. Tapi dia tidak mampu membuka
matanya. Tangan kanannya bergetar seolah ingin menuliskan sesuatu untuk
puteri sulungnya, tapi tubuhnya terlampau lemah untuk sekadar menulis.
Tangannya kembali terkulai. Soekarno terdiam lagi.
Melihat kenyataan itu, perasaan Megawati amat terpukul. Air matanya yang
sedari tadi ditahan kini menitik jatuh. Kian deras. Perempuan muda itu
menutupi hidungnya dengan sapu tangan. Tak kuat menerima kenyataan,
Megawati menjauh dan limbung. Mega segera dipapah keluar. Jarum jam
terus bergerak. Di luar kamar, sepasukan tentara terus berjaga.lengkap
dengan senjata. Malam harinya ketahanan tubuh seorang Soekarno ambrol.
Dia coma. Antara hidup dan mati. Tim dokter segera memberikan bantuan
seperlunya.
Keesokan hari, mantan wakil presiden Muhammad Hatta diizinkan
mengunjungi kolega lamanya ini. Hatta yang ditemani sekretarisnya
menghampiri pembaringan Soekarno dengan sangat hati-hati. Dengan segenap
kekuatan yang berhasil dihimpunnya, Soekarno berhasil membuka matanya.
Menahan rasa sakit yang tak. terperi, Soekarno berkata lemah. “Hatta..,
kau di sini..?” Yang disapa tidak bisa menyembunyikan kesedihannya.
Namun Hatta tidak mau kawannya ini mengetahui jika dirinya bersedih.
Dengan sekuat tenaga memendam kepedihan yang mencabik hati, Hatta
berusaha menjawab Soekarno dengan wajar. Sedikit tersenyum menghibur.
“Ya, bagaimana keadaanmu, No?”
Hatta menyapanya dengan sebutan yang digunakannya di masa lalu.
Tangannya memegang lembut tangan Soekarno. Panasnya menjalari jemarinya.
Dia ingin memberikan kekuatan pada orang yang sangat dihormatinya ini.
Bibir Soekarno bergetar, tiba-tiba, masih dengan lemah, dia balik
bertanya dengan bahasa Belanda. Sesuatu yang biasa mereka berdua lakukan
ketika mereka. masih bersatu dalam Dwi Tunggal. “Hoe gaat het met
jou…?” Bagaimana keadaanmu? Hatta memaksakan diri tersenyum. Tangannya
masih memegang lengan Soekarno. Soekarno kemudian terisak bagai anak
kecil. Lelaki perkasa itu menangis di depan kawan seperjuangannya, bagai
bayi yang kehilangan mainan. Hatta tidak lagi mampu mengendalikan
perasaannya. Pertahanannya bobol. Airmatanya juga tumpah. Hatta ikut
menangis. Kedua teman lama yang sempat berpisah itu saling berpegangan
tangan seolah takut berpisah. Hatta tahu, waktu yang tersedia bagi orang
yang sangat dikaguminya ini tidak akan lama lagi. Dan Hatta juga tahu,
betapa kejamnya siksaan tanpa pukulan yang dialami sahabatnya ini.
Sesuatu yang hanya bisa dilakukan oleh manusia yang tidak punya nurani.
“No…” Hanya itu yang bisa terucap dari bibirnya. Hatta tidak mampu
mengucapkan lebih. Bibirnya bergetar menahan kesedihan sekaligus
kekecewaannya. Bahunya. terguncang-guncang. Jauh di lubuk hatinya, Hatta
sangat marah pada penguasa baru yang sampai hati menyiksa bapak bangsa
ini. Walau prinsip politik antara dirinya dengan Soekarno tidak
bersesuaian, namun hal itu sama sekali tidak merusak persabatannya yang
demikian erat dan tulus. Hatta masih memegang lengan Soekarno ketika
kawannya ini kembali memejamkan matanya. Jarum jam terus bergerak.
Merambati angka demi angka.
Sehari setelah pertemuan dengan Hatta, kondisi Soekarno yang sudah
buruk, terus merosot. Putera Sang Fajar itu tidak mampu lagi membuka
kedua matanya. Suhu. badannya terus meninggi. Soekarno kini menggigil.
Peluh membasahi bantal dan piyamanya. Malamnya Dewi Soekarno dan
puterinya yang masih berusia tiga tahun, Karina, hadir di rumah sakit.
Soekarno belum pernah sekali pun melihat anaknya.
Minggu pagi, 21 Juni 1970. Dokter Mardjono, salah seorang anggota tim
dokter. kepresidenan seperti biasa melakukan pemeriksaan rutin. Bersama
dua orang. paramedis, Dokter Mardjono memeriksa kondisi pasien
istimewanya ini. Sebagai seorang dokter yang telah berpengalaman,
Mardjono tahu waktunya tidak akan lama lagi. Dengan sangat hati-hati dan
penuh hormat, dia memeriksa denyut nadi Soekarno. Dengan sisa kekuatan
yang masih ada, Soekarno menggerakkan tangan kanannya, memegang lengan
dokternya. Mardjono merasakan panas yang demikian tinggi dari tangan
yang amat lemah ini. Tiba-tiba tangan yang panas itu terkulai. Detik itu
juga Soekarno menghembuskan nafas terakhirnya. Kedua matanya tidak
pernah mampu lagi untuk membuka. Tubuhnya tergolek tak bergerak lagi.
Kini untuk selamanya.
Source: http://www.mediametafisika.com/2013/10/kisah-misteri-dibalik-meninggalnya-tiga.html
Disalin dari WWW.MEDIAMETAFISIKA.COM | kontent ini memiliki hak cipta.
Source: http://www.mediametafisika.com/2013/10/kisah-misteri-dibalik-meninggalnya-tiga.html
Disalin dari WWW.MEDIAMETAFISIKA.COM | kontent ini memiliki hak cipta.
Soekarno Ir.
Soekarno adalah Presiden Indonesia pertama yang menjabat pada periode
1945–1966.Ia memainkan peranan penting untuk memerdekakan bangsa
Indonesia dari penjajahan Belanda.Soekarno adalah penggali Pancasila
karena ia yang pertama kali mencetuskan konsep mengenai dasar negara
Indonesia itu dan ia sendiri yang menamainya Pancasila. Soekarno lahir
di Surabaya Jawa Timur, 6 Juni 1901 – meninggal di Jakarta, 21 Juni 1970
pada umur 69 tahun
Kesehatan Soekarno sudah mulai menurun sejak bulan Agustus
1965.Sebelumnya, ia telah dinyatakan mengidap gangguan ginjal dan pernah
menjalani perawatan di Wina, Austria tahun 1961 dan 1964.Prof. Dr. K.
Fellinger dari Fakultas Kedokteran Universitas Wina menyarankan agar
ginjal kiri Soekarno diangkat tetapi ia menolaknya dan lebih memilih
pengobatan tradisional.Ia masih bertahan selama 5 tahun sebelum akhirnya
meninggal pada hari Minggu, 21 Juni 1970 di RSPAD (Rumah Sakit Pusat
Angkatan Darat) Gatot Subroto, Jakarta dengan status sebagai tahanan
politik.
Jenazah Soekarno pun dipindahkan dari RSPAD ke Wisma Yasso yang dimiliki
oleh Ratna Sari Dewi.Sebelum dinyatakan wafat, pemeriksaan rutin
terhadap Soekarno sempat dilakukan oleh Dokter Mahar Mardjono yang
merupakan anggota tim dokter kepresidenan.Tidak lama kemudian
dikeluarkanlah komunike medis yang ditandatangani oleh Ketua Prof. Dr.
Mahar Mardjono beserta Wakil Ketua Mayor Jenderal Dr. (TNI AD) Rubiono
Kertopati.
Komunike medis tersebut menyatakan hal sebagai berikut:
Pada hari Sabtu tanggal 20 Juni 1970 jam 20.30 keadaan kesehatan Ir.
Soekarno semakin memburuk dan kesadaran berangsur-angsur menurun.
Tanggal 21 Juni 1970 jam 03.50 pagi, Ir. Soekarno dalam keadaan
tidak sadar dan kemudian pada jam 07.00 Ir. Soekarno meninggal dunia.
Tim dokter secara terus-menerus berusaha mengatasi keadaan kritis
Ir. Soekarno hingga saat meninggalnya.
Walaupun Soekarno pernah meminta agar dirinya dimakamkan di Istana Batu
Tulis, Bogor, namun pemerintahan Presiden Soeharto memilih Kota Blitar,
Jawa Timur, sebagai tempat pemakaman Soekarno. Hal tersebut ditetapkan
lewat Keppres RI No. 44 tahun 1970.Jenazah Soekarno dibawa ke Blitar
sehari setelah kematiannya dan dimakamkan keesokan harinya bersebelahan
dengan makam ibunya. Upacara pemakaman Soekarno dipimpin oleh Panglima
ABRI Jenderal M. Panggabean sebagai inspektur upacara.Pemerintah
kemudian menetapkan masa berkabung selama tujuh hari.
Meninggalnya sang proklamator kemerdekaan Indonesia sampai sekarang
menyisakan misteri. Perawatan penyakit, masalah pemakaman dan pembatasan
keluarga Soekarno sampai sekarang menjadi cerita yang tidak pernah
selesai dan menjadi kontroversi dan misteri
Namun jauh sebelum pertemuan itu, Kartono bertemu Wu Jie Ping, dokter
yang pernah merawat Soekarno di Hong Kong. Wu mengungkapkan bahwa
Soekarno hanya mengalami stroke ringan akibat penyempitan sesaat di
pembuluh darah otak saat diberitakan sakit pada awal Agustus 1965, dan
sama sekali tidak mengalami koma seperti isu yang beredar. Ini menepis
spekulasi bahwa Soekarno tidak akan mampu menyampaikan pidato kenegaraan
pada peringatan hari proklamasi 17 Agustus 1965. Dan nyatanya, Soekarno
tetap hadir pada peringatan detik-detik proklamasi 17 Agustus itu di
Istana Merdeka, lengkap dengan tongkat komandonya.
Ruangan intensive care RSPAD Gatot Subroto dipenuhi tentara sejak pagi.
Serdadu berseragam dan bersenjata lengkap bersiaga penuh di beberapa
titik strategis rumah sakit tersebut. Tak kalah banyaknya, petugas
keamanan berpakaian preman juga hilir mudik di koridor rumah sakit
hingga pelataran parkir.
Sedari pagi, suasana mencekam sudah terasa. Kabar yang berhembus
mengatakan, mantan Presiden Soekarno akan dibawa ke rumah sakit ini dari
rumah tahanannya di Wisma Yaso yang hanya berjarak lima kilometer.
Derik-detik menjelang kematian Soekarno dimula ketika di dalam ruang
perawatan yang sangat sederhana untuk ukuran seorang mantan presiden,
Soekarno tergolek lemah di pembaringan. Sudah beberapa hari ini
kesehatannya sangat mundur. Sepanjang hari, orang yang dulu pernah
sangat berkuasa ini terus memejamkan mata. Suhu tubuhnya sangat tinggi.
Penyakit ginjal yang tidak dirawat secara semestinya kian menggerogoti
kekuatan tubuhnya. Lelaki yang pernah amat jantan dan berwibawa—dan
sebab itu banyak digila-gilai perempuan seantero jagad, sekarang tak
ubahnya bagai sesosok mayat hidup. Tiada lagi wajah gantengnya. Kini
wajah yang dihiasi gigi gingsulnya telah membengkak, tanda bahwa racun
telah menyebar ke mana-mana. Bukan hanya bengkak, tapi bolong-bolong
bagaikan permukaan bulan. Mulutnya yang dahulu mampu menyihir jutaan
massa dengan pidato-pidatonya yang sangat memukau, kini hanya terkatup
rapat dan kering. Sebentar-sebentar bibirnya gemetar. Menahan sakit.
Kedua tangannya yang dahulu sanggup meninju langit dan mencakar udara,
kini tergolek lemas di sisi tubuhnya yang kian kurus.
Megawati, anak sulungnya dari Fatmawati diizinkan tentara untuk
mengunjungi ayahnya. Menyaksikan ayahnya yang tergolek lemah dan tidak
mampu membuka matanya, kedua mata Mega menitikkan airmata. Bibirnya
secara perlahan didekatkan ke telinga manusia yang paling dicintainya
ini. “Pak, Pak, ini Ega…” Senyap.
Ayahnya tak bergerak. Kedua matanya juga tidak membuka. Namun kedua
bibir Soekarno yang telah pecah-pecah bergerak-gerak kecil, gemetar,
seolah ingin mengatakan sesuatu pada puteri sulungnya itu. Soekarno
tampak mengetahui kehadiran Megawati. Tapi dia tidak mampu membuka
matanya. Tangan kanannya bergetar seolah ingin menuliskan sesuatu untuk
puteri sulungnya, tapi tubuhnya terlampau lemah untuk sekadar menulis.
Tangannya kembali terkulai. Soekarno terdiam lagi.
Melihat kenyataan itu, perasaan Megawati amat terpukul. Air matanya yang
sedari tadi ditahan kini menitik jatuh. Kian deras. Perempuan muda itu
menutupi hidungnya dengan sapu tangan. Tak kuat menerima kenyataan,
Megawati menjauh dan limbung. Mega segera dipapah keluar. Jarum jam
terus bergerak. Di luar kamar, sepasukan tentara terus berjaga.lengkap
dengan senjata. Malam harinya ketahanan tubuh seorang Soekarno ambrol.
Dia coma. Antara hidup dan mati. Tim dokter segera memberikan bantuan
seperlunya.
Keesokan hari, mantan wakil presiden Muhammad Hatta diizinkan
mengunjungi kolega lamanya ini. Hatta yang ditemani sekretarisnya
menghampiri pembaringan Soekarno dengan sangat hati-hati. Dengan segenap
kekuatan yang berhasil dihimpunnya, Soekarno berhasil membuka matanya.
Menahan rasa sakit yang tak. terperi, Soekarno berkata lemah. “Hatta..,
kau di sini..?” Yang disapa tidak bisa menyembunyikan kesedihannya.
Namun Hatta tidak mau kawannya ini mengetahui jika dirinya bersedih.
Dengan sekuat tenaga memendam kepedihan yang mencabik hati, Hatta
berusaha menjawab Soekarno dengan wajar. Sedikit tersenyum menghibur.
“Ya, bagaimana keadaanmu, No?”
Hatta menyapanya dengan sebutan yang digunakannya di masa lalu.
Tangannya memegang lembut tangan Soekarno. Panasnya menjalari jemarinya.
Dia ingin memberikan kekuatan pada orang yang sangat dihormatinya ini.
Bibir Soekarno bergetar, tiba-tiba, masih dengan lemah, dia balik
bertanya dengan bahasa Belanda. Sesuatu yang biasa mereka berdua lakukan
ketika mereka. masih bersatu dalam Dwi Tunggal. “Hoe gaat het met
jou…?” Bagaimana keadaanmu? Hatta memaksakan diri tersenyum. Tangannya
masih memegang lengan Soekarno. Soekarno kemudian terisak bagai anak
kecil. Lelaki perkasa itu menangis di depan kawan seperjuangannya, bagai
bayi yang kehilangan mainan. Hatta tidak lagi mampu mengendalikan
perasaannya. Pertahanannya bobol. Airmatanya juga tumpah. Hatta ikut
menangis. Kedua teman lama yang sempat berpisah itu saling berpegangan
tangan seolah takut berpisah. Hatta tahu, waktu yang tersedia bagi orang
yang sangat dikaguminya ini tidak akan lama lagi. Dan Hatta juga tahu,
betapa kejamnya siksaan tanpa pukulan yang dialami sahabatnya ini.
Sesuatu yang hanya bisa dilakukan oleh manusia yang tidak punya nurani.
“No…” Hanya itu yang bisa terucap dari bibirnya. Hatta tidak mampu
mengucapkan lebih. Bibirnya bergetar menahan kesedihan sekaligus
kekecewaannya. Bahunya. terguncang-guncang. Jauh di lubuk hatinya, Hatta
sangat marah pada penguasa baru yang sampai hati menyiksa bapak bangsa
ini. Walau prinsip politik antara dirinya dengan Soekarno tidak
bersesuaian, namun hal itu sama sekali tidak merusak persabatannya yang
demikian erat dan tulus. Hatta masih memegang lengan Soekarno ketika
kawannya ini kembali memejamkan matanya. Jarum jam terus bergerak.
Merambati angka demi angka.
Sehari setelah pertemuan dengan Hatta, kondisi Soekarno yang sudah
buruk, terus merosot. Putera Sang Fajar itu tidak mampu lagi membuka
kedua matanya. Suhu. badannya terus meninggi. Soekarno kini menggigil.
Peluh membasahi bantal dan piyamanya. Malamnya Dewi Soekarno dan
puterinya yang masih berusia tiga tahun, Karina, hadir di rumah sakit.
Soekarno belum pernah sekali pun melihat anaknya.
Minggu pagi, 21 Juni 1970. Dokter Mardjono, salah seorang anggota tim
dokter. kepresidenan seperti biasa melakukan pemeriksaan rutin. Bersama
dua orang. paramedis, Dokter Mardjono memeriksa kondisi pasien
istimewanya ini. Sebagai seorang dokter yang telah berpengalaman,
Mardjono tahu waktunya tidak akan lama lagi. Dengan sangat hati-hati dan
penuh hormat, dia memeriksa denyut nadi Soekarno. Dengan sisa kekuatan
yang masih ada, Soekarno menggerakkan tangan kanannya, memegang lengan
dokternya. Mardjono merasakan panas yang demikian tinggi dari tangan
yang amat lemah ini. Tiba-tiba tangan yang panas itu terkulai. Detik itu
juga Soekarno menghembuskan nafas terakhirnya. Kedua matanya tidak
pernah mampu lagi untuk membuka. Tubuhnya tergolek tak bergerak lagi.
Kini untuk selamanya.
Source: http://www.mediametafisika.com/2013/10/kisah-misteri-dibalik-meninggalnya-tiga.html
Disalin dari WWW.MEDIAMETAFISIKA.COM | kontent ini memiliki hak cipta.
Source: http://www.mediametafisika.com/2013/10/kisah-misteri-dibalik-meninggalnya-tiga.html
Disalin dari WWW.MEDIAMETAFISIKA.COM | kontent ini memiliki hak cipta.
Soekarno Ir.
Soekarno adalah Presiden Indonesia pertama yang menjabat pada periode
1945–1966.Ia memainkan peranan penting untuk memerdekakan bangsa
Indonesia dari penjajahan Belanda.Soekarno adalah penggali Pancasila
karena ia yang pertama kali mencetuskan konsep mengenai dasar negara
Indonesia itu dan ia sendiri yang menamainya Pancasila. Soekarno lahir
di Surabaya Jawa Timur, 6 Juni 1901 – meninggal di Jakarta, 21 Juni 1970
pada umur 69 tahun
Kesehatan Soekarno sudah mulai menurun sejak bulan Agustus
1965.Sebelumnya, ia telah dinyatakan mengidap gangguan ginjal dan pernah
menjalani perawatan di Wina, Austria tahun 1961 dan 1964.Prof. Dr. K.
Fellinger dari Fakultas Kedokteran Universitas Wina menyarankan agar
ginjal kiri Soekarno diangkat tetapi ia menolaknya dan lebih memilih
pengobatan tradisional.Ia masih bertahan selama 5 tahun sebelum akhirnya
meninggal pada hari Minggu, 21 Juni 1970 di RSPAD (Rumah Sakit Pusat
Angkatan Darat) Gatot Subroto, Jakarta dengan status sebagai tahanan
politik.
Jenazah Soekarno pun dipindahkan dari RSPAD ke Wisma Yasso yang dimiliki
oleh Ratna Sari Dewi.Sebelum dinyatakan wafat, pemeriksaan rutin
terhadap Soekarno sempat dilakukan oleh Dokter Mahar Mardjono yang
merupakan anggota tim dokter kepresidenan.Tidak lama kemudian
dikeluarkanlah komunike medis yang ditandatangani oleh Ketua Prof. Dr.
Mahar Mardjono beserta Wakil Ketua Mayor Jenderal Dr. (TNI AD) Rubiono
Kertopati.
Komunike medis tersebut menyatakan hal sebagai berikut:
Pada hari Sabtu tanggal 20 Juni 1970 jam 20.30 keadaan kesehatan Ir.
Soekarno semakin memburuk dan kesadaran berangsur-angsur menurun.
Tanggal 21 Juni 1970 jam 03.50 pagi, Ir. Soekarno dalam keadaan
tidak sadar dan kemudian pada jam 07.00 Ir. Soekarno meninggal dunia.
Tim dokter secara terus-menerus berusaha mengatasi keadaan kritis
Ir. Soekarno hingga saat meninggalnya.
Walaupun Soekarno pernah meminta agar dirinya dimakamkan di Istana Batu
Tulis, Bogor, namun pemerintahan Presiden Soeharto memilih Kota Blitar,
Jawa Timur, sebagai tempat pemakaman Soekarno. Hal tersebut ditetapkan
lewat Keppres RI No. 44 tahun 1970.Jenazah Soekarno dibawa ke Blitar
sehari setelah kematiannya dan dimakamkan keesokan harinya bersebelahan
dengan makam ibunya. Upacara pemakaman Soekarno dipimpin oleh Panglima
ABRI Jenderal M. Panggabean sebagai inspektur upacara.Pemerintah
kemudian menetapkan masa berkabung selama tujuh hari.
Meninggalnya sang proklamator kemerdekaan Indonesia sampai sekarang
menyisakan misteri. Perawatan penyakit, masalah pemakaman dan pembatasan
keluarga Soekarno sampai sekarang menjadi cerita yang tidak pernah
selesai dan menjadi kontroversi dan misteri
Namun jauh sebelum pertemuan itu, Kartono bertemu Wu Jie Ping, dokter
yang pernah merawat Soekarno di Hong Kong. Wu mengungkapkan bahwa
Soekarno hanya mengalami stroke ringan akibat penyempitan sesaat di
pembuluh darah otak saat diberitakan sakit pada awal Agustus 1965, dan
sama sekali tidak mengalami koma seperti isu yang beredar. Ini menepis
spekulasi bahwa Soekarno tidak akan mampu menyampaikan pidato kenegaraan
pada peringatan hari proklamasi 17 Agustus 1965. Dan nyatanya, Soekarno
tetap hadir pada peringatan detik-detik proklamasi 17 Agustus itu di
Istana Merdeka, lengkap dengan tongkat komandonya.
Ruangan intensive care RSPAD Gatot Subroto dipenuhi tentara sejak pagi.
Serdadu berseragam dan bersenjata lengkap bersiaga penuh di beberapa
titik strategis rumah sakit tersebut. Tak kalah banyaknya, petugas
keamanan berpakaian preman juga hilir mudik di koridor rumah sakit
hingga pelataran parkir.
Sedari pagi, suasana mencekam sudah terasa. Kabar yang berhembus
mengatakan, mantan Presiden Soekarno akan dibawa ke rumah sakit ini dari
rumah tahanannya di Wisma Yaso yang hanya berjarak lima kilometer.
Derik-detik menjelang kematian Soekarno dimula ketika di dalam ruang
perawatan yang sangat sederhana untuk ukuran seorang mantan presiden,
Soekarno tergolek lemah di pembaringan. Sudah beberapa hari ini
kesehatannya sangat mundur. Sepanjang hari, orang yang dulu pernah
sangat berkuasa ini terus memejamkan mata. Suhu tubuhnya sangat tinggi.
Penyakit ginjal yang tidak dirawat secara semestinya kian menggerogoti
kekuatan tubuhnya. Lelaki yang pernah amat jantan dan berwibawa—dan
sebab itu banyak digila-gilai perempuan seantero jagad, sekarang tak
ubahnya bagai sesosok mayat hidup. Tiada lagi wajah gantengnya. Kini
wajah yang dihiasi gigi gingsulnya telah membengkak, tanda bahwa racun
telah menyebar ke mana-mana. Bukan hanya bengkak, tapi bolong-bolong
bagaikan permukaan bulan. Mulutnya yang dahulu mampu menyihir jutaan
massa dengan pidato-pidatonya yang sangat memukau, kini hanya terkatup
rapat dan kering. Sebentar-sebentar bibirnya gemetar. Menahan sakit.
Kedua tangannya yang dahulu sanggup meninju langit dan mencakar udara,
kini tergolek lemas di sisi tubuhnya yang kian kurus.
Megawati, anak sulungnya dari Fatmawati diizinkan tentara untuk
mengunjungi ayahnya. Menyaksikan ayahnya yang tergolek lemah dan tidak
mampu membuka matanya, kedua mata Mega menitikkan airmata. Bibirnya
secara perlahan didekatkan ke telinga manusia yang paling dicintainya
ini. “Pak, Pak, ini Ega…” Senyap.
Ayahnya tak bergerak. Kedua matanya juga tidak membuka. Namun kedua
bibir Soekarno yang telah pecah-pecah bergerak-gerak kecil, gemetar,
seolah ingin mengatakan sesuatu pada puteri sulungnya itu. Soekarno
tampak mengetahui kehadiran Megawati. Tapi dia tidak mampu membuka
matanya. Tangan kanannya bergetar seolah ingin menuliskan sesuatu untuk
puteri sulungnya, tapi tubuhnya terlampau lemah untuk sekadar menulis.
Tangannya kembali terkulai. Soekarno terdiam lagi.
Melihat kenyataan itu, perasaan Megawati amat terpukul. Air matanya yang
sedari tadi ditahan kini menitik jatuh. Kian deras. Perempuan muda itu
menutupi hidungnya dengan sapu tangan. Tak kuat menerima kenyataan,
Megawati menjauh dan limbung. Mega segera dipapah keluar. Jarum jam
terus bergerak. Di luar kamar, sepasukan tentara terus berjaga.lengkap
dengan senjata. Malam harinya ketahanan tubuh seorang Soekarno ambrol.
Dia coma. Antara hidup dan mati. Tim dokter segera memberikan bantuan
seperlunya.
Keesokan hari, mantan wakil presiden Muhammad Hatta diizinkan
mengunjungi kolega lamanya ini. Hatta yang ditemani sekretarisnya
menghampiri pembaringan Soekarno dengan sangat hati-hati. Dengan segenap
kekuatan yang berhasil dihimpunnya, Soekarno berhasil membuka matanya.
Menahan rasa sakit yang tak. terperi, Soekarno berkata lemah. “Hatta..,
kau di sini..?” Yang disapa tidak bisa menyembunyikan kesedihannya.
Namun Hatta tidak mau kawannya ini mengetahui jika dirinya bersedih.
Dengan sekuat tenaga memendam kepedihan yang mencabik hati, Hatta
berusaha menjawab Soekarno dengan wajar. Sedikit tersenyum menghibur.
“Ya, bagaimana keadaanmu, No?”
Hatta menyapanya dengan sebutan yang digunakannya di masa lalu.
Tangannya memegang lembut tangan Soekarno. Panasnya menjalari jemarinya.
Dia ingin memberikan kekuatan pada orang yang sangat dihormatinya ini.
Bibir Soekarno bergetar, tiba-tiba, masih dengan lemah, dia balik
bertanya dengan bahasa Belanda. Sesuatu yang biasa mereka berdua lakukan
ketika mereka. masih bersatu dalam Dwi Tunggal. “Hoe gaat het met
jou…?” Bagaimana keadaanmu? Hatta memaksakan diri tersenyum. Tangannya
masih memegang lengan Soekarno. Soekarno kemudian terisak bagai anak
kecil. Lelaki perkasa itu menangis di depan kawan seperjuangannya, bagai
bayi yang kehilangan mainan. Hatta tidak lagi mampu mengendalikan
perasaannya. Pertahanannya bobol. Airmatanya juga tumpah. Hatta ikut
menangis. Kedua teman lama yang sempat berpisah itu saling berpegangan
tangan seolah takut berpisah. Hatta tahu, waktu yang tersedia bagi orang
yang sangat dikaguminya ini tidak akan lama lagi. Dan Hatta juga tahu,
betapa kejamnya siksaan tanpa pukulan yang dialami sahabatnya ini.
Sesuatu yang hanya bisa dilakukan oleh manusia yang tidak punya nurani.
“No…” Hanya itu yang bisa terucap dari bibirnya. Hatta tidak mampu
mengucapkan lebih. Bibirnya bergetar menahan kesedihan sekaligus
kekecewaannya. Bahunya. terguncang-guncang. Jauh di lubuk hatinya, Hatta
sangat marah pada penguasa baru yang sampai hati menyiksa bapak bangsa
ini. Walau prinsip politik antara dirinya dengan Soekarno tidak
bersesuaian, namun hal itu sama sekali tidak merusak persabatannya yang
demikian erat dan tulus. Hatta masih memegang lengan Soekarno ketika
kawannya ini kembali memejamkan matanya. Jarum jam terus bergerak.
Merambati angka demi angka.
Sehari setelah pertemuan dengan Hatta, kondisi Soekarno yang sudah
buruk, terus merosot. Putera Sang Fajar itu tidak mampu lagi membuka
kedua matanya. Suhu. badannya terus meninggi. Soekarno kini menggigil.
Peluh membasahi bantal dan piyamanya. Malamnya Dewi Soekarno dan
puterinya yang masih berusia tiga tahun, Karina, hadir di rumah sakit.
Soekarno belum pernah sekali pun melihat anaknya.
Minggu pagi, 21 Juni 1970. Dokter Mardjono, salah seorang anggota tim
dokter. kepresidenan seperti biasa melakukan pemeriksaan rutin. Bersama
dua orang. paramedis, Dokter Mardjono memeriksa kondisi pasien
istimewanya ini. Sebagai seorang dokter yang telah berpengalaman,
Mardjono tahu waktunya tidak akan lama lagi. Dengan sangat hati-hati dan
penuh hormat, dia memeriksa denyut nadi Soekarno. Dengan sisa kekuatan
yang masih ada, Soekarno menggerakkan tangan kanannya, memegang lengan
dokternya. Mardjono merasakan panas yang demikian tinggi dari tangan
yang amat lemah ini. Tiba-tiba tangan yang panas itu terkulai. Detik itu
juga Soekarno menghembuskan nafas terakhirnya. Kedua matanya tidak
pernah mampu lagi untuk membuka. Tubuhnya tergolek tak bergerak lagi.
Kini untuk selamanya.
Source: http://www.mediametafisika.com/2013/10/kisah-misteri-dibalik-meninggalnya-tiga.html
Disalin dari WWW.MEDIAMETAFISIKA.COM | kontent ini memiliki hak cipta.
Source: http://www.mediametafisika.com/2013/10/kisah-misteri-dibalik-meninggalnya-tiga.html
Disalin dari WWW.MEDIAMETAFISIKA.COM | kontent ini memiliki hak cipta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar